Petruk – tokoh wayang purwa Jawa.
Petruk pawakane gedhe duwur, ning irunge kedawan,
lambene kamban dadi kesane plengah-plengèh kaya ngguyu terus, gulune
dawa nganggo kalamenjing nyenol, pundhak punuk, weteng nyempluk, wudel
bodong, sikile rada pincang siji (versi Yogya). Merga gulune dawa,
Petruk duwe vokal sing penak dirungokke, pinter tetembangan, pinter
gendhingan, pinter nirokke paraga werna-werna. Tetembangane sing khas
KHS “Yung, biyung, nya putumu mongen, biyung. Gonal, ganèl!”.
.
Ing antarane sedulure, Petruk paling merbawani, ya swarane ya sikape.
Jenenge pirang-pirang: Kanthong Bolong, Dobla Jaya, Penthung Pinanggul,
Ronggung Jiwan. Ing antarane sedulur-sedulure, Petruk paling kurmat
karo bapakne, Semar.
.
.
Foto wayang Petruk koleksi Bp Bima Karangjati, Yogyakarta.
Wayang karya Sanggar Anugrahing Wayang Seno, Karanganyar.
.
.
.
Gareng- tokoh wayang purwa Jawa.
.
Panyandrane Gareng versi pakeliran Ki Hadi Sugito.
Ditulis oleh Al Nurbandana di Facebook group Ki Hadi Sugito Dalangku
.
(2)
Garèng pawakane paling mesakake – awak cilik, sikil
bejig, tangan thekle, mripat kera, irung mbendhol, lambe njumlik. Ning
arepa wandane memelas, Garèng pinter gegendhingan. Mung wae swarane
kemèng … dong-dong sok keminter/ mbagusi. Garèng kepingin isa nembang
kaya Petruk ning ora isa. Jenenge asring disebut Nala Gareng.
.
.
Foto wayang Gareng koleksi Bp Bima Karangjati, Yogya.
Wayang karya Sanggar Anugrahing Wayang Seno,Karanganyar.
.
.
.
Semar – tokoh wayang purwa Jawa.
.
Panakawane Ki Hadi Sugito
Panyandrane Semar versi pakeliran Ki Hadi Sugito.
Ditulis oleh Al Nurbandana di Facebook group Ki Hadi Sugito Dalangku
.
Panakawan ing Karangkabolotan versi KHS (Ki Hadi Sugito) nggambarake
kahanan urip tentrem ing padesan: Bapak (Semar) karo anak-anake (Gareng,
Petruk, Bagong) guyub rukun. Model panakawan versi KHS kira-kira kaya
kang tinulis ing ngisor iki.
(1)
Semar karo anak-anake ketok akrab senengane geguyon,
sembranan, dong-dong nek ngendikan blanyongan/plèsèdan nggo ngregengake
swasana. Nek ura-ura kadhang ya diplèsètke ora mung tembunge, ning ya
ukarane, ya cengkoke, ya lagune, ya larase … komplit. Nggon bab gending,
Semar kadangkala sok serba tahu … ” We lha kepiye ta kowe ki … aku
wasis nek mung gending kaya ngono kuwi … jaman cilikanku biyen …”.
Ning, arepa nèk ngendikan sok blanyongan, nèk wis tekan nggon sing
serius, Semar ya nuwani, ya merbawani – mumpuni nggon bab sembur &
tutur. Semar rumangsa cedhak karo putra-putrane, mula anake ora basa ya
ora papa. Merga ora jelas umure, Semar kadhang disebut ‘wa’, kadhang
disebut ‘kakang’, kadhang disebut ‘kaki’.
.
.
Foto wayang Semar koleksi Bp Bima Karangjati, Yogykarta.
Wayang buatan Sanggar Anugrahing Wayang Seno, Karanganyar.
.
.
Panakawan – tokoh wayang purwa Jawa.
.
Di dalam pewayangan purwa Jawa, dikenal panakawan yang mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan baik’ dan ada panakawan yang – di dalam cerita diposisikan – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’. Di simpingan pakeliran ( jajaran wayang kulit yang ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir / layar ) tokoh ‘berkelakuan baik’ diletakkan di sisi kanan layar, sedangan tokoh ‘berkelakuan buruk’ diletakkan di sisi kiri layar. Baiklah, mari kita sebut saja ada panakawan ‘kanan’ dan panakawan ‘kiri’.
Panakawan tidak dikenal di pewayangan India. Panakawan merupakan tokoh ciptaan kaum Jawa yang kemudian dicangkokkan ke pewayangan. Tidak diketahui pasti siapa empu atau pujangga yang menciptakan panakawan, jadi bisa disebut panakawan adalah kreasi kaum Jawa berjamaah. Hasil resultan kolektif karya kreatif kaum Jawa.
Ada tidak hanya satu versi cerita mengenai kelahiran panakawan, semuanya berbau ‘mistik’ Jawa. Gubahan cerita kehadiran panakawan berada di semua era lakon wayang, mulai dari era Arjunasasrabahu sampai era Parikesit, bahkan masih muncul di Wayang Madya – cerita wayang sesudah lakon era Parikesit. Namun tidak jelas diketahui kapan dan bagaimana kematian panakawan. Rasanya, pesan para leluhur Jawa pada gubahan cerita kehadiran panakawan sepanjang era wayang adalah pamomong sebagai pengawal ‘kehidupan baik’ harus hadir di sepanjang masa selama masih ada kehidupan manusia.
( Saya jadi ingat juga tokoh wayang kera putih Anoman. Di pewayangan Jawa, Anoman yang sakti tidak hanya hidup di era Ramayana, dia masih ada di gubahan lakon era Mahabarata. Bagi kaum Jawa, alasannya adalah Anoman bertugas mengawal ‘kehidupan baik’ . Catatan lain : Anoman adalah salah satu kadang Bayu – tokoh yang diberkahi dan dilindungi oleh Bathara Bayu – dewa Angin. )
Panakawan sebetulnya adalah pribadi yang unggul dalam ilmu, kesaktian, ber wawasan luas, mumpuni dalam masalah kehidupan serta bijaksana. Sampai suatu ketika mereka membuat keputusan untuk keluar dari hal-hal yang bersifat keduniawian , harta kekayaan dan pangkat. Mereka memilih hidup sederhana sebagai orang kebanyakan, namun tetap dengan kehidupan sehat senang sejahtera mulia.
Sosok panakawan kental diselubungi falsafah hidup orang Jawa. Banyak perwujudan anggauta badannya yang tidak sewajarnya orang , namun dibalik itu kaum Jawa menitipkan pesan falsafah dan nasehat moral. Kira-kira pesan moralnya : Carilah makna-makna di balik segala sesuatu. Janganlah hanya terpesona keindahan wujud wadag. Manusia selayaknya belajarmembaca bahasa lambang. Dibalik wujud luar yang kelihatan kurang atau tidak sempurna, tersimpan beragam rahasia kehidupan.
.

.
Panakawan ‘kanan’.
Panakawan, di dalam pewayangan Jawa, berperan tidak hanya sekedar abdi /pelayan, melainkan pamomong ( dalam bahasa Indonesia, mungkin padanan yang mendekati adalah pengasuh total ). Mereka – meskipun memiliki wawasan, ilmu dan kesaktian yang tinggi – tidak mau menyejajarkan diri dengan yang dimong /diasuh, yang di dalam pewyangan disebut bendara. Mereka menempatkan diri sebagai ‘orang kebanyakan’ / orang biasa yang karena tugasnya senantiasa tut wuri dalam perjalanan hidup, perkembangan jiwa raga bendara nya. Memberi pendapat, nasehat, wawasan ketika ditanya maupun – dengan meminta ijin dahulu – ketika tidak ditanya. Juga menghibur di kala duka. Selalu mengingatkan ketika bendara khilaf atau melakukan kesalahan.
Dan kadang kala terjun langsung berkiprah membela bendara nya di kala hal itu memang sangat diperlukan ; hal ini jarang terjadi karena pamomong selalu mengutamakan mendorong, membesarkan hati serta menyemangati agar sang bendara mandiri dan mampu mengatasi masalah mereka sendiri.
( Pada suatu saat, ketika terjadi penyimpangan ‘kehidupan baik’ yang keterlaluan, jika terpaksa, panakawan menunjukkan kesaktiannya mengalahkan segala sesuatu penyebab penyimpangan sehingga kehidupan kembali ke jalan yang baik. Tidak peduli yang melakukan penyimpangan dewa sekalipun. )
Panakawan ‘kanan’ ada empat orang. Yaitu Semar, sang ayah , dan tiga orang anak nya Gareng, Petruk dan Bagong. Ada versi yang menceritakan bahwa Bagong sebenarnya adalah bayangan Semar yang kemudian diwujudkan jadi bangsa manusia sebagai anak nomor tiga.
Ada semacam panakawan wanita yaitu Cangik, sang ibu dan anaknya Limbuk ; yang diceritakan mengiringi para ratu atau putri.
Anda bisa membaca uraian tentang penampilan Semar, Gareng, Petruk di file digital PDF konservasi tulisan “ Pacandra Warnane Semar,Gareng, Petruk “ tulisan R. Tanojo - yang merupakan bagian akhir dari buku “ Sadjarah Pandawa lan Korawa” – terbit di era tahun 1960 an yang bisa Anda unduh melalui info URL di posting blog Wayang Pustaka .Selanjutnya di posting berikut ini masing-masing tokoh panakawan akan ditampilkan fotonya, diawali dengan panyandra panakawan versi almarhum Ki Hadi Sugito ditulis Bp Al Nurbandana, Jakarta di Facebook group Ki Hadi Sugito Dalangku. Bp Al adalah ‘juru kunci’ group tersebut, beliau seorang penikmat dan pemerhati gaya pakeliran wayang purwa Jawa gagrag Yogyakarta khususnya gaya Ki Hadi Sugito.
0 komentar:
Posting Komentar